Hallo, Senja…

Sore tadi, aku kembali ke masjid, tempat salah satu perbincangan kita dimulai. Sejujurnya kala itu aku amat letih. Namun jika orang tanya alasannya, aku hanya akan menjawab, “sebab ku rindu”. Rindu betapa sejuknya menikmati waktu di Masjid Segitiga itu, rindu merenung dan menjadi patung dalam beberapa detik, rindu dengan setiap kenangan, termasuk rindu kamu yang pernah kujumpa, di sana.

Hai, Senja, apa kabar warnamu sore ini? Masihkah menarik hatinya, yang juga jatuh cinta pada embun pagi?

Senja, aku merindumu, sungguh. Seperti bagaimana aku merindu lintasan waktu yang telah lalu. Seperti bagaimana aku merindu jalanan sejuk menujumu kala itu, kala aku dan dia masih bisa banyak bercerita.

Tapi tahukah kau, Senja? Bahwasanya kini banyak yang berubah. Sedang perubahan itu pasti. Baik aku, kau, dan kita, haruslah siap dan bersedia menerimanya. Bukankah begitu makna rela? Meski kita sama-sama tahu, pasti ada yang harus dikorbankan.

Senja, sesungguhnya aku tengah lapuk dalam lamun. Aku merasa tidak seharusnya lama dalam momen ini, detik-detik ketika dunia berputar lambat dalam ingatan. Sedang tak banyak yang dapat aku kerjakan. Di satu sisi, waktu lekas meninggalkan, terutama aku.

Maka, sore ini, Senja, aku menemuimu pada sudut yang mungkin sama pada sore-sore sebelumnya. Bercerita tanpa kata-kata, berderai air mata, lalu terdiam. Menatap kosong pada cahyamu yang menembus jendela segitiga itu.

Aku bertanya. Apakah relasiku dengannya masih saja pada level mengendalikan ego dan menahan diri? Apakah masih saja terjebak dalam saling memahami? Sedang nafsu tidak mau diberitahu.

Senja, apakah dia juga merasa, kalau apa yang dia lakukan sebenarnya tak tepat? Tapi, mengapa malah aku yang… ah sudahlah. Tapi, aku sampai pada satu keinginan. Kau bisa tebak? Ya, keinginan untuk hilang. Sedang selama ini dia tahu aku tidak pernah hengkang. Dia tahu aku tidak pernah meninggalkan. Salahkah jika itu aku lakukan?

Senja, dalam ronamu yang kian padam. Sesungguhnya pada sore ini aku kembali bertanya, siapa di antara kita yang akan tenggelam duluan? Siapa di antara kita yang akan padam?

Aku bersyukur, masih dapat menjumpamu dalam sudut yang memesona. Lagi-lagi bercerita tanpa kata-kata.

Senja, sampaikan salamku padanya, tentang seseorang yang terlampau jenuh dalam kekacauan. Salam dari seseorang yang begitu kaku mengucap terima kasih. Salam dari seseorang yang bahkan menjadi asing.

Kali ini, aku tidak tahui, apakah keputusanku benar? Tapi agaknya, jarak banyak mengajarkanku makna penerimaan.

 

Pada suatu sore saat kita berselisih,

 

_Aku

Tinggalkan komentar