Kita tidak bisa memilih, hendak lahir dari rahim siapa. Hendak ada di keluarga yang mana. Hendak hidup dari pasangan yang seperti apa.
Kita juga tidak berdaya menolak, akibat dari perbuatan mereka. Tidak bisa menghindar dari kata-kata mereka. Terlebih, sialnya, kita tidak bisa tidak kena dari imbas keputusan mereka. Sebagai buah dari hati mereka, kita tidak bisa luput dari apa yang mereka rasakan. Sialnya begitu.
Aku sedang ingin mengutuk, terlebih kepada diri sendiri akan ketidaksiapannya. Akan ia yang tidak bisa menyembuhkan luka. Aku ingin mengutuknya, ini lukanya salah siapa?! Salahku??? Aku yang harus menanggung pedihnya juga???
Jika memang keputusan yang kita buat itu bisa kita cegah untuk tidak membuat kerugian pada siapa pun, kenapa tidak? Jika kita bisa untuk tidak memaksa siapa pun atas pilihan kita, kenapa tidak? Tapi kenapa banyak dari keputusan kita akhirnya bersinggungan dengan banyak orang? Menggores hati banyak orang. Menjadi sembilu paling tajam?
Kemudian logika kita mati atas dasar kita ingin menang sendiri. Merasa masing-masing kita berhak merasa punya luka yang tidak berhak orang ganggu. Padahal itu luka buatan diri sendiri yang menyebar ke orang lain.
Kemudian ketika kita mencoba menyembuhkannya, memberanikan diri menengok penyebabnya, memberanikan diri mengurai debu yang menginfeksinya. Tapi… desinfektan bekerja amat sakit. Menyentuh luka yang tidak kunjung sembuh lagi dan lagi.
Jika begitu, hendak kah kau lari?
Kita memang tidak bisa memilih hendak berasal dari mana. Tapi mungkin kita bisa memilih cara untuk menghargainya. Sialnya, aku sedang tidak bisa. Terlebih dihantui banyak pertanyaan tentang kesalahan, padahal itu bukan salahku. Ditembaki pertanyaan yang sama secara berulang, padahal jawabannya bukan aku yang punya. Padahal bukan aku yang harus menanggung untuk bisa mengemukakan jawabannya.
Kali ini aku tidak bisa sabar.